Drs. M. Kemal Dermawan, M.Si.
TINJAUAN
MATA KULIAH
Mata
kuliah Teori Kriminologi ini membahas secara umum teori kriminologi di mana
konsep-konsepnya relevan untuk menganalisis kejahatan, penjahat, reaksi
sosial terhadap kejahatan dan penjahat serta kedudukan korban kejahatan yang
sering menjadi masalah sosial di dalam masyarakat. Materi di dalamnya disajikan
secara tematis, dalam pengertian bahwa kondisi-kondisi sosial tertentu di
dalam masyarakat dihubungan dengan kemungkinan timbulnya kejahatan yang
dilakukan oleh pelaku kejahatan. Dalam konteks ini, kondisi-kondisi sosial
tadi memang mendukung kemungkinan terjadinya kejahatan. Dengan penyajian
secara tematis ini, diharapkan pembaca akan lebih mudah memlih teori yang
(akan) diterapkan dalam menganalisis masalah-masalah kejahatan yang terjadi
di sekitar kita.
Buku Materi Pokok (BMP) Teori Kriminologi terdiri atas 9 modul. Modul pertama merupakan penjelasan tentang Ruang Lingkup Studi Kriminologi yang mencakup definisi dan pengertian kriminologi, objek studi kriminologi, serta perbedaan fokus perhatian kriminologi dengan bidang ilmu lainnya terhadap kejahatan dan penjahat; keterkaitan kriminologi dengan bidang dan lainnya. Modul kedua memuat uraian tentang Kejahatan serta Arti dan Status Penjahat. Pada bagian ini dibahas konsep-konsep kejahatan yang dilihat secara normatif, sosiologis, dan psikologis. Di sini juga memfokuskan pada penjelasan mengenai kejahatan sebagai hasil interaksi antara individu dan masyarakatnya, menjelaskan pula perbedaan antara kejahatan dan perbuatan amoral, termasuk analisis perubahan-perubahan masyarakat dan kejahatan, relativitas kejahatan; konsep penjahat, serta klasifikasi penjahat. Modul ketiga, membahas tentang Korban Kejahatan. Kategorisasi dan klasifikasi konsep dan definisi dari korban kejahatan sangat membantu dalam memahami terjadinya kejahatan secara mendalam. Kejahatan sebagai sebuah tindakan yang dianggap asosial merupakan perbuatan yang bertentangan dengan berbagai tatanan sosial. Karena sifatnya yang asosial tersebut maka timbullah reaksi masyarakat atas kejahatan. Maka, pada Modul keempat dibahas berbagai Reaksi Sosial terhadap Kejahatan dan Penjahat, yang mencakup pembahasan tentang berbagai reaksi sosial yang timbul, reaksi represif terhadap kejahatan dan penjahatan, berbagai strategi penanggulangan kejahatan, perbedaan antara reaksi repesif dan rekasi preventif, reaksi formal dan informal, serta perbedaan antara penghukuman dan pemasyarakatan. Pada Modul kelima, dibahas penggolongan ajaran-ajaran dalam kriminologi yang berkaitan dengan etiologi kriminal dan perkembangan mashab dalam kriminologi dimulai dari Mashab Klasik hingga Mashab Kritis. Penggolongan ini sangat penting untuk mempermudah pembaca dalam memahami secara menyeluruh terhadap konsep kriminologi dan perkembangannya. Ekologi perkotaan adalah studi tentang bagaimana hubungan antar manusia dipengaruhi oleh lingkungan sosial tertentu di mana kejahatan adalah salah satu aspek dari ekologi perkotaan. Premis sentral dari Modul keenam adalah kejahatan yang dijumpai dalam struktur sosial dan struktur fisik dari suatu lingkungan di mana lingkungan dapat memicu timbulnya kejahatan. Dengan mempelajari modul keenam ini, pembaca dapat melihat keterkaitan antara lingkungan sosial dengan kejahatan, memahami pola kota berdasarkan pada zona kosentrasi dalam kaitannya dengan diorganisasi sosial dan kejahatan, karakteristik kejahatan di perkotaan, serta proses viktimisasi yang terkait dengan aktivitas rutin. Kejahatan sebagai akibat dari disorganisasi sosial, mengungkapkan bahwa struktur sosial memiliki kontribusi terhadap timbulnya kejahatan. Struktur sosial tertentu dapat merupakan prevalensi terjadinya kejahatan. Modul ketujuh, membahas berbagai teori yang terkait dengan korelasi antara struktur sosial dengan timbulnya kejahatan. Di sini, teori Anomie, teori Frustrasi Status dan Formasi Reaksi, serta teori Struktur Kesempatan Berbeda merupakan bahasan utama. Kemudian, pada Modul kedelapan dibahas peran dari proses sosial berkaitan dengan timbulnya kejahatan. Di sini, dibahas mengenai Teori Differential Association dari Sutherland, Teori Kontrol Sosial, Teori Containment dari Walter Reckless, Teori Social Bond dari Travis Hirschi dan Labeling atau Interaksionisme. Padamodul terakhir, yaitu Modul kesembilan, dibahas mengenai kejahatan yang merupakan produk dari konflik sosial di mana kejahatan dilihat dari Perspektif Konflik dan Fungsional, diantaranya Konflik Norma Tingkah Laku, Konflik Kelompok Kepentingan, dan Konflik Otoritas. Timbulnya kejahatan juga dianalisis berdasar Teori Realitas Sosial, Teori Social Complexity And Crime, Teori Class and Economic of Crimen, serta Teori The New Criminology. Selamat belajar! MODUL 1 Ruang Lingkup Studi Kriminologi Kegiatan Belajar 1 :
Pengertian Krimonologi dan
Objek Studi Krimonologi
Masih
banyak perbedaan pendapat tentang batasan dan lingkup kriminologi. Namun
demikian jika kita cermati berbagai definisi yang diberikan oleh banyak
sarjana, kita dapat memberikan batasan tentang kriminologi baik secara sempit
maupun secara luas. Batasan kriminologi secara sempit adalah ilmu pengetahuan
yang mencoba menerangkan kejahatan dan memahami mengapa seseorang melakukan
kejahatan.
Secara luas, kriminologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mencakup semua materi pengetahuan yang diperlukan untuk mendapatkan konsep kejahatan serta bagaimana pencegahan kejahatandilakukan, termasuk di dalamnya pemahaman tentang pidana atau hukuman. Bidang ilmu yang menjadi fokus kriminologi dan objek studi kriminologi, mencakup: Sosiologi Hukum yang lebih memfokuskan perhatiannya pada objek studi Kriminologi, yakni kejahatan, dengan mempelajari hal-hal yang terkait dengan kondisi terbentuknya Hukum Pidana, peranan hukum dalam mewujudkan nilai-nilai sosial, serta kondisi empiris perkembangan hukum. Etiologi Kriminal lebih memfokuskan perhatiannya pada objek studi Kriminologi, yakni penjahat, yaitu mempelajari alasan seseorang melanggar Hukum (Pidana), atau melakukan tindak kejahatan sementara orang lainnya tidak melakukannya. Kita harus mempertimbangkannya dari berbagai faktor (Multiple Factors), tidak lagi hanya faktor hukum atau Legal saja (Single Factor). Penologi lebih memfokuskan perhatiannya pada objek studi Kriminologi, yakni reaksi Sosial, dengan mempelajari hal-hal yang terkait dengan berkembangnya hukuman, arti dan manfaatnya yang berhubungan dengan “control of crime”. Viktimologi yang lebih memfokuskan perhatiannya pada objek studi Kriminologi, yakni korban kejahatan, dengan mempelajari hal-hal yang terkait dengan kedudukan korban dalam kejahatan, interaksi yang terjadi antara korban dan penjahat, tanggung jawab korban pada saat sebelum dan selama kejahatan terjadi. Kegiatan Belajar 2 :
Keterkaitan Krimonologi
Dengan Bidang Studi Lain
Kriminologi
sebagai ilmu pengetahuan yang mencoba menjelaskan masalah-masalah yang
terkait dengan kejahatan dan penjahat, dalam perkembangannya, tidak terlepas
dari berbagai bidang studi yang juga berorientasi pada eksistensi hubungan
sosial dan produk yang dihasilkan dari hubungan sosial yang ada., seperti
antropologi, sosiologi, psikologi kriminalistrik serta ilmu hukum pidana.
Semakin kompleks pusat perhatian kriminologi maka semakin bermanfaat pula
pemahaman-pemahaman dari berbagai bidang ilmu dalam hal menyumbangkan ke arah
penjelasan yang lebih komprensif yang merupakan tugas dari kriminologi
tersebut, karena sifatnya yang multidisipliner, perkembangan teori dan
metodologi pada disiplin ilmu yang lain sangat berpengaruh terhadap
perkembangan kriminologi dalam menganalisis kejahatan.
MODUL 2 Kejahatan serta Arti dan Status
Penjahat
Kegiatan Belajar 1 :
Definisi Kejahatan
Kejahatan,
dilihat dari sudut pandang pendekatan legal diartikan sebagai suatu perbuatan
yang melanggar hukum pidana atau Undang-undang yang berlaku di masyarakat.
Pada hakikatnya, suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana atau
Undang-undang yang berlaku dalam suatu masyarakat adalah suatu perbuatan yang
sangat merugikan masyarakat yang bersangkutan. Mengapa demikian? Kita harus
sadari bahwa eksistensi suatu hukum di dalam masyarakat merupakan
pengejawantahan dari tuntutan masyarakat agar jalannya kehidupan bersama
menjadi baik dan tertib. Dengan dilanggarnya fondasi ketertiban masyarakat
tersebut maka tentunya perbuatan tersebut adalah jahat.
Pernyataan bahwa tidak akan ada kejahatan apabila tidak ada hukum (undang-undang) pidana dan bahwa kita akan dapat menghilangkan seluruh kejahatan hanya dengan menghapuskan semua hukum (undang-undang) pidana adalah logomachy. Memang benar bahwa andaikata undang-undang terhadap pencurian ditarik kembali, maka mencuri itu tidak akan merupakan kejahatan, meskipun ia bersifat menyerang atau merugikan dan masyarakat umum akan memberikan reaksi terhadapnya. Sebutan kepada perilaku itu mungkin akan berubah tetapi perilaku dan perlawanan masyarakat terhadap perilaku tersebut hakikatnya akan tetap sama, sebab “kepentingan-kepentingan masyarakat” yang rusak oleh perilaku itu hakikatnya akan tetap tidak berubah. Karena inilah, maka telah diadakan usaha-usaha untuk merumuskan definisi tentang kejahatan di mana kejahatan merupakan suatu uraian mengenai sifat hakikat perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum. Dalam konteks ini, konsep kejahatan lebih menekankan arti segi sosialnya daripada arti yuridis tentang definisi kejahatan. Kegiatan Belajar 2 :
Relativisme Kejahatan
Mempelajari
kejahatan haruslah menyadari bahwa pengetahuan kita tentang batasan dan
kondisi kejahatan di dalam masyarakat mempunyai sifat relatif. Relativisme
kejahatan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, yakni adanya ketertinggalan hukum karena perubahan
nilai sosial dan perkembangan perilaku masyarakat, adanya perbedaan
pendekatan tentang kejahatan --di mana di satu sisi memakai pendekatan legal
dan di sisi lain memakai pendekatan moral-- serta adanya relativisme dilihat
dari sisi kuantitas kejahatan.
Kegiatan Belajar 3 :
Arti dan Status Penjahat
Bukanlah
suatu kerja yang sederhana untuk mempelajari “siapa itu penjahat”. Langkah
pertama adalah dengan memberi batasan yang sangat sederhana tentang penjahat,
yaitu “seseorang yang melakukan kejahatan". Sebelum melangkah lebih
jauh, kini kita harus mencermati terlebih dahulu apa itu kejahatan. Kejahatan
adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh penjahat. Penjahat inilah yang
akan kita beri batasannya. Dalam Modul terdahulu kita telah membahas cukup
rinci tentang apakah itu kejahatan. Kejahatan dapat didekati dari dua
pendekatan utama yakni yuridis dan kriminologis.
Secara yuridis, kejahatan kita artikan sebagai setiap perbuatan yang melanggar undang-undang atau hukum pidana yang berlaku di masyarakat. Sedangkan secara kriminologis, kejahatan bukan saja suatu perbuatan yang melanggar undang-undang atau hukum pidana tetapi lebih luas lagi, yaitu yang mencakup perbuatan yang anti sosial, yang merugikan masyarakat, walaupun perbuatan itu belum atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana. Dengan melihat batasan kejahatan seperti telah diuraikan di bagian terdahulu maka penjahat adalah seseorang (atau sekelompok orang) yang melakukan perbuatan anti sosial walaupun belum atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana (kriminologis). Dalam arti sempit, penjahat adalah seseorang yang melakukan pelanggaran undang-undang atau hukum pidana, lalu tertangkap, dituntut, dan dibuktikan kesalahannya di depan pengadilan serta kemudian dijatuhi hukuman.
MODUL 3 Korban Kejahatan
Kegiatan Belajar 1 :
Kedudukan Korban dalam
Sistem
Peradilan Pidana
Hingga dewasa ini masih belum banyak perhatian dan studi terhadap korban kejahatan. Dalam literatur, perhatian tentang korban mulai berkembang pada akhir tahun 1970-an. Sementara itu perkembangan pemikiran dalam peradilan pidana juga lebih banyak mengedepankan masalah hak-hak pelaku kejahatan Schafer dalam bukunya Victimology: The Victim and His Criminal mengembangkan konsep yang juga memposisikan korban sebagai pihak yang juga harus menanggung kesalahan dalam konteks terjadinya kejahatan. Banyak viktimisasi yang dilaporkan dan yang tidak dilaporkan. Sangat mudah memahami mengapa para pelacur, homoseksual dan pecandu enggan melaporkan viktimisasi yang dialaminya. Namun, banyak korban dari kejahatan lainnya yang tidak melaporkan kejadian yang menimpa mereka. Ketika menjadi korban kejahatan, seseorang mengalami krisis dalam hal fisik, finansial, sosial dan psikologis. Berat ringannya krisis tersebut tergantung pada bagian mana dari diri korban yang diserang. Misalnya jika seseorang menjadi korban penjambretan, ia merasa kehilangan simbol dirinya berupa kartu kredit, uang atau kartu identitasnya. Ia juga merasa diserang otoritasnya dan kepercayaannya. Meluasnya peristiwa viktimisasi, akhirnya, mendorong munculnya “undang-undang tentang hak korban” untuk melindungi korban sebagaimana undang-undang dasar untuk melindungi hak-hak pelaku kejahatan. Kegiatan Belajar 2 :
Risiko Viktimisasi
Adanya
kejahatan di dalam masyarakat antara lain menimbulkan gejala fear of crime
dari anggota masyarakat. Fear of
Crime sendiri diartikan sebagai kondisi ketakutan dari anggota masyarakat
yang potensial menjadi korban kejahatan atau merasa dirinya rentan dalam hal
dikenai ancaman kejahatan atau kejahatan. Jadi sebenarnya fear of crime
itu sangat perseptual, tergantung bagaimana individu yang bersangkutan
mengukur kerentanan dirinya untuk menjadi korban kejahatan.
Analisis risiko menjadi penting dalam memahami hubungan antara pelaku dan korban dalam terjadinya suatu kejahatan. Dalam penilaian risiko dapat digambarkan hubungan antara korban dan gaya hidupnya yang akhirnya membawa pelaku kejahatan kepada korban. Analisis risiko juga penting dalam hal memahami hubungan antara pelaku dan korban dalam terjadinya suatu kejahatan. Dalam penilaian risiko dapat digambarkan hubungan antara korban dan gaya hidupnya yang akhirnya membawa pelaku kejahatan kepada korban. Namun masalahnya adalah tidak semua pihak yang terviktimisasi menyadari bahwa mereka sebenarnya merupakan korban dari suatu kejahatan.
MODUL 4 Reaksi Sosial terhadap Kejahatan dan
Penjahat
Kegiatan Belajar 1 :
Reaksi Represif dan Reaksi
Preventif
Reaksi
sosial terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan (penjahat), dilihat dari segi
pencapaian tujuannya, dapat dibagi menjadi dua, yakni reaksi yang bersifat
(represif) dan reaksi yang bersifat (preventif). Karena berbeda tujuannya
maka secara operasionalnya pun akan berbeda, khususnya dari metode
pelaksanaan dan sifat pelaksanaannya. Secara singkat, pengertian reaksi atau
tindak represif adalah tindakan yang dilakukan oleh masyarakat (formal) yang
ditujukan untuk menyelesaikan kasus atau peristiwa kejahatan yang telah
terjadi, guna memulihkan situasi dengan pertimbangan rasa keadilan dan
kebenaran yang dijunjung tinggi.
Sementara itu yang dimaksud dengan reaksi atau tindak (preventif) adalah tindak pencegahan agar kejahatan tidak terjadi. Artinya segala tindak-tindak pengamanan dari ancaman kejahatan adalah prioritas dari reaksi preventif ini. Menyadari pengalaman-pengalaman waktu lalu bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan masyarakat maka anggota masyarakat berupaya untuk mencegah agar perbuatan tersebut tidak dapat terjadi. Kegiatan Belajar 2 :
Reaksi Formal dan Reaksi
Informal
Reaksi
formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang diberikan kepada pelaku
kejahatan atas perbuatannya, yakni melanggar hukum pidana, oleh pihak-pihak
yang diberi wewenang atau kekuatan hukum untuk melakukan reaksi tersebut.
Sebagai suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci, tujuan sistem peradilan pidana, dengan demikian, adalah (1) mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan, (2) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (3) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya. Kita telah pahami bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang merugikan masyarakat sehingga terhadapnya diberikan reaksi yang negatif. Kita juga telah pahami bahwa reaksi terhadap kejahatan dan penjahat, dipandang dari segi pelaksanaannya, dapat dibagi menjadi dua yakni reaksi formal – yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, dan reaksi informal – yang dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum tetapi oleh warga masyarakat biasa. Masyarakat biasa – di samping telah mendelegasikan haknya kepada aparat penegak hukum – berhak saja bereaksi terhadap kejahatan dan penjahat sebatas mereka tidak melanggar peraturan yang ada. Dalam kasanah kriminologi, reaksi informal dari masyarakat itu lebih dikenal sebagai tindak kontrol sosial informal. Studi-studi memperlakukan beberapa aspek dari kontrol sosial informal pada tingkat komunitas ketetanggaan yang digunakan untuk membangun tipologi dari definisi operasional dari kontrol sosial informal. Definisi operasional ditemui dalam dua dimensi, yaitu bentuk dan tempat.
MODUL 5 Mashab dalam Kriminologi
Kegiatan Belajar 1 :
Penggolongan Ajaran
tentang Etiologi Kriminal
Dalam
studi kriminologi dikenal dua penjelasan dasar tentang kejahatan, yakni
penjelasan spristis atau demonologis dan penjelasan naturalis.
Upaya mencari sebab musabab kejahatan pada akhirnya sampai pada pencarian melalui jalan ilmiah. Upaya-upaya ilmiah ini menghasilkan penjelasan-penjelasan yang berbeda-beda, yang demi kepentingan praktis dikelompokkan dalam beberapa tipologi ajaran tentang sebab musabab kejahatan. Memang penggolongan itu mempermudah cara mempelajari sesuatu pengetahuan, akan tetapi di samping ini ada pula segi-segi negatifnya yakni berupa bahaya-bahaya sebagai berikut: 1. Orang cenderung untuk melebih-lebihkan penggolongan atau perbedaan-perbedaan antara golongan-golongan yang satu dengan golongan yang lain. 2. Dengan penggolongan ini batas-batas antara golongan yang satu dengan golongan yang lain sering dipertajam, sehingga apa yang berada di tengah-tengahnya dimasukan saja ke dalam salah satu golongan. 3. Penggolongan mereduksikan apa yang tidak cocok, buta akan realitas yang tidak cocok, dalam arti tidak mau tahu akan realitas-realitas yang tidak cocok. Dengan demikian bila ternyata ada hal-hal/segi-segi yang tidak cocok dengan apa yang telah digariskan oleh penggolongan, maka seringkali hal-hal/segi-segi tersebut dihilangkan saja, dianggap tidak ada.
Kegiatan Belajar 2 :
Mashab Klasik Hingga
Kritis
Mashab
Klasik sangat kental oleh pemikiran Beccaria yang menghendaki penataan
terhadap sistem penghukuman yang ada. Aspek yang menonjol dari mashab ini
adalah pemikiran tentang Administration of Justice. Di mana terkandung
prinsip dasar yang mengatur penyelenggaraan penjatuhan hukuman.
Pemikiran Administration of Justice dari mashab Klasik sangat mewarnai Undang-undang Pidana Perancis 1791 (Code 1791). Namun pada penerapannya kemudian ditemukan adanya hal-hal yang menyebabkan Code 1791 dirasakan justru melestarikan kesewenang-wenangan penghukuman. Dalam pemberian hukuman, perhatian dan perlakuan terhadap pelanggar hukum, dalam hal-hal tertentu mendapat perhatian secara lebih individual, seperti usia pelanggar dan kemampuan mental/kejiwaan dihubungkan dengan pertanggungjawaban secara hukum. Namun demikian, menurut prinsip dasarnya, mashab neoklasik dan mashab klasik tidaklah jauh berbeda. Upaya-upaya pencarian sebab-musabab kejahatan, pada masa-masa berikutnya, mendapat perhatian yang serius dan tidak lepas dari pengaruh revolusi ilmu yang berlangsung di Eropa. Kejahatan tidak lagi dicari akarnya pada konsep yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah, dan harus dicari dengan menggunakan metode ilmiah. Penjelasan tentang sebab musabab kejahatan oleh Mashab Positif dilandasi pemikiran Lombroso, yang mencoba mencari musabab kejahatan dengan memfokuskan pada pendekatan individual.-sebab Tidak musabab kejahatan dengan-berhenti pada upaya menjelaskan sebab pendekatan individual, Mashab Positif juga berusaha menjelaskan sebab-musabab kejahatan berdasarkan pendekatan lingkungan, serta menghubungkan gejala kejahatan dengan kondisi-kondisi ekonomi, hasil belajar sosial, dan dengan konflik budaya. Dalam perkembangan pemikiran tentang kejahatan, maka muncullah upaya yang mencari musabab kejahatan dalam hubungannya dengan eksistensi hukum. Hal-sebab ini muncul karena adanya pemikiran bahwa hukumlah yang menentukan keberadaan kejahatan. Aliran pemikiran yang demikian, kemudian, dikenal sebagai Mashab Kritis. MODUL 6 Lingkungan Sosial dan Kejahatan Kegiatan Belajar 1 :
Teori Zona Konsentrasi
Park yakin
benar bahwa kota dapat digunakan sebagai bahan pustaka untuk mempelajari
kejahatan. Karena kota merupakan suatu organisme sosial tempat di mana
masyarakat ketetanggaan dapat bertahan. Persoalannya, mengapa kejahatan
berkembang dan meluas dalam daerah tertentu sementara di daerah lain
kejahatan tidak berkembang. Atas hal ini, Park dan koleganya Burgess merujuk
pada konsep zona konsentrasi menurut pekerjaan penduduknya dan karakteristik
kelas. Mereka mencermati bagaimana zona perkotaan berubah dari waktu ke waktu
dan apa dampak dari proses perubahan tersebut bagi tingkat kejahatan.
Park dan Burgess menunjukkan bahwa zona transisi adalah sumber utama kejahatan perkotaan. Pada zona ini, dapat ditemui tingkat kenakalan remaja yang tinggi dan berbagai masalah sosial lainnya. Memahami bentuk, sifat atau karakter kejahatan perkotaan akan memberi kemungkinan bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri kejahatan perkotaan. Atas dasar itu, dapat dirumuskan berbagai kebijakan untuk melakukan pencegahan maupun penaggulangannya. Sepanjang kejahatan perkotaan diartikan sebagai perbuatan yang dapat dipidana menurtut perundang-undangan yang berlaku, maka secara umum tidak ada perbedaan yang mendasar antara kejahatan perkotaan dengan kejahatan yang bukan kejahatan perkotaan, atau kejahatan pada umumnya. Pencurian, pembunuhan, penganiayaan, penipuan, penggelapan, perkosaan dapat terjadi di mana saja. Namun harus diakui bahwa ada pula bentuk-bentuk kejahatan tertentu yang hanya mungkin terjadi atau sekurang-kurangnya dipermudah oleh lingkungan perkotaan. Tanpa mengurangi adanya karakter khas seseorang, secara umum dapat dikatakan bahwa dorongan untuk melakukan kejahatan tidak semata-mata karena memang tersimpan tingkah laku jahat, tetapi juga ada faktor-faktor nilai, keadaan dan lingkungan yang tak jarang justru menjadi faktor yang sangat berperan untuk mempengaruhi seseorang melakukan kejahatan. Kegiatan Belajar 2 :
Teori Tempat Kejahatan dan
Teori Aktivitas Rutin
Hasil
pengamatan Shaw, McKay, Stark menunjukkan bahwa kejahatan tidak akan muncul
pada setiap masalah sosial yang ada namun kejahatan akan muncul andaikata
masalah sosial tertentu mempunyai kekuatan yang mendorong aspek-aspek
kriminogen. Teori Stark tentang tempat kejahatan memberi beberapa penjelasan
tentang mengapa kejahatan terus berkembang sejalan dengan
perubahan/perkembangan di dalam populasi.
Para ahli yang mengkaji tradisi disorganisasi sosial sudah sejak lama memusatkan perhatian pada tiga aspek korelatif kejahatan ekologis, yaitu kemiskinan, heterogenitas kesukuan, dan mobilitas permukiman. Tetapi aspek korelatif tersebut, saat ini, sudah diperluas lagi untuk menguji dampak dari faktor tambahan seperti keluarga, single-parent, urbanisasi, dan kepadatan struktural Stark memberlakukan lima variabel yang diyakini dapat mempengaruhi tingkat kejahatan di dalam masyarakat, yakni kepadatan, kemiskinan, pemakaian fasilitas secara bersama, pondokan sementara, dan kerusakan yang tidak terpelihara. Variabel tersebut dihubungkan dengan empat variabel lainnya, yakni moral sisnisme di antara warga, kesempatan melakukan kejahatan dan kejahatan yang meningkat, motivasi untuk melakukan kejahatan yang meningkat, dan hilangnya mekanisme kontrol sosial. Teori Aktivitas Rutin menjelaskan bahwa pola viktimisasi sangat terkait dengan ekologi sosial. Studi yang dilakukan menunjukkan secara jelas hubungan antara pelaku kejahatan, korban, dan sistem penjagaan.
MODUL 7 Struktur Sosial dan Kejahatan
Kegiatan Belajar 1 :
Penjelasan Teori Struktur
Sosial Tentang Kejahatan
Di dalam
khasanah Kriminologi terdapat sejumlah teori yang dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok teori yang menjelaskan peranan dari faktor struktur sosial dalam
mendukung timbulnya kejahatan, antara lain teori Anomie, teori Frustrasi
Status dan Formasi Reaksi, teori Struktur Kesempatan Berbeda dan penjelasan
tentang hubungan antara Kondisi Ekonomi dan Kejahatan.
Teori Anomie dari Merton menjelaskan aspek ketiadaan norma dalam masyarakat karena adanya jurang perbedaan yang lebar antara aspirasi dalam bidang ekonomi yang melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh struktur sosial kepada warga masyarakatnya untuk mencapai aspirasi tersebut. Teori Frustrasi Status dan Formasi Reaksi, teori Struktur Kesempatan Berbeda pada dasarnya menjelaskan aspek subkebudayaan yang terdapat dalam kebudayaan induk (dominan) masyarakat tertentu, yang karena muatan nilai dan normanya yang bertentangan dengan kebudayaan induk (dominan) tersebut, dapat menimbulkan suatu pola perilaku kriminal. Kegiatan Belajar 2 :
Kejahatan Tertentu dalam
Konteks Struktur Sosial
Struktur
sosial dalam masyarakat dapat menyebabkan munculnya beberapa kejahatan
tertentu. kejahatan itu sebenarnya didukung oleh perbedaan struktur sosial
itu sendiri. Pemahaman dan persepsi yang salah oleh kelompok tertentu yang
berada di dalam struktur sosial dapat menyebabkan dilakukannya perbuatan
tertentu yang dapat digolongkan sebagai kejahatan, yang menurut orang yang
bersangkutan dimungkinkan dan dibenarkan karena dirinya berada dalam struktur
sosial dimaksud. Beberapa kejahatan tersebut antara lain white collar crime
dan domestic violence.
Secara harafiah white collar crime diartikan sebagai ‘kejahatan kerah putih’. White collar crime adalah kejahatan yang melibatkan orang yang terhormat dan dihormati serta berstatus sosial tinggi (Sutherland dan Cressey, 1960). Versi lain mengatakan bahwa “kejahatan orang berdasi” adalah penyalahgunaan kepercayaan oleh orang yang pada umumnya dipandang sebagai warga yang jujur dalam kehidupan mereka sehari-hari. Domestic Violence atau kekerasan dalam rumah dapat adalah kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Rumah Tangga, dapat diartikan sebagai tempat semua orang yang tinggal di bersama di satu tempat kediaman. Dalam perkembangannya, rumah tangga ini dapat berupa wadah dari suatu kehidupan penghuninya yang bisa saja terdiri dari berbagai status, seperti suami istri, orangtua dan anak; orang yang mempunyai hubungan darah; orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga, orang lain yang menetap di sebuah rumah tangga; orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka yang masih atau pernah tinggal bersama.
Dalam
Rumah Tangga, tanpa tahun, tanpa penerbit.
Harkrisnowo, H, Wajah Tindak Kekerasan Pada Perempuan di Indonesia (tinjauan dari segi kriminologi dan hukum), dalam Menuju Kemitraan Pemerintah LSM Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, hal 29-30, tanpa tahun. Hayati, E.N (2003). Karakteristik Perempuan Korban Kekerasan, Makalah disusun untuk Pelatihan Konselor yang diadakan oleh Mitra Perempuan, Jakarta, tgl. 4 6 September 2001, Jakarta 13 16 February 2003 Heath, A. (1987). Prinsip Pertukaran Sebagai Suatu Dasar Untuk Penelitian Hukum, dalam Pendekatan Sosiologis terhadap Hukum, ed. Adam Podgorecki & Christopher J. Whelan, PT Bina Aksara, Jakarta. Heath, A. (1996). Rational Choice Theory and Social Change, Cambridge University Press, 1996. London. England. Kusumah, M W (1988). Kejahatan dan Penyimpangan (suatu perspektip kriminologi),: Yayasan LBH, Jakarta. Indonesia. Martin, S.E, Sexual Harrasment: The Link Between Gender Stratificafion, SexuaIity, and Women's Economic Status, dalam Women A Feminist Perspectivc, Third Edition, ed. Jo Freeman, (Mayfield Publishing Company, 1984), p. 54 55. Matsueda, R. (1988). The Current State of DA Theory: Crime & Delinquency, tanpa penerbit, tanpa tahun. Messner, S. & R. Rosenfeld. (1994). Crime and the American Dream. Wadsworth Belmont. USA Messner, S. (1988) Merton's Anomie: The road not taken. Deviant Behavior, 9, 33-53, tanpa tahun, tanpa penerbit. Nugroho, F, (tanpa tahun). Upaya Prefentif dan Kuratif Dengan Pendekatan Keluarga Dan Komunitas, dalam Penanggulangan Terpadu Penganiayaan & Penelantaran Anak, ed. Rita Serena Kolibonso, S.H., LL.M dan Dr. Suryo Dharmono, Sp KJ. Tim Perumus Kelompok Kerja Usulan RUU-KDRT (1999). Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Diperbanyak oleh Mitra Perempuan. Jakarta. Indonesia. Tjondroputranto, H. (tanpa tahun). Pokok pokok Ilmu Kedokteran Forensik, jilid kedua (bagian materiil), diktat kuliah yang tidak dipublikasikan. Tanpa Penerbit.
MODUL 8 Proses Sosial dan Kejahatan
Kegiatan Belajar 1 :
Teori Belajar Sosial
Teori
Differential Association dari Sutherland, pada pokoknya, mengetengahkan suatu
penjelasan sistematik mengenai penerimaan pola-pola kejahatan. Kejahatan
dimengerti sebagai suatu perbuatan yang dapat dipelajari melalui interaksi
pelaku dengan orang-orang lain dalam kelompok-kelompok pribadi yang intim.
Proses belajar itu menyangkut teknik-teknik untuk melakukan kejahatan,
motif-motif, dorongan-dorongan, sikap-sikap dan pembenaran-pembenaran
argumentasi yang mendukung dilakukannya kejahatan.
Kegiatan Belajar 2 :
Teori Kontrol Sosial
Teori
Kontrol Sosial menyatakan bahwa ada suatu kekuatan pemaksa di dalam
masyarakat bagi setiap warganya untuk menghindari niat melanggar hukum. Dalam
kaitan ini ada beberapa konsep dasar dari Kontrol Sosial yang bersifat
positif, yakni Attachment, Commitment, Involvement, dan Beliefs, yang
diyakini merupakan mekanisme penghalang bagi seseorang yang berniat melakukan
pelanggaran hukum.
Kegiatan Belajar 3 :
Teori Label
Munculnya
teori Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk mengukur atau
menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran kemungkinan dampak
negatif dari adanya reaksi sosial yang berlebihan terhadap kejahatan dan
pelaku kejahatan.
Konsep teori labeling menekankan pada dua hal, pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan.
MODUL 9 Konflik Sosial dan Kejahatan
Kegiatan Belajar 1 :
Perspektif Konflik dalam
Sosiologi
Hubungan
antara Perspektif konflik dan perspektif fungsional di dalam sosiologi adalah
unik dengan fakta bahwa beberapa sarjana sosiologi mengakui perspektif
konflik adalah lawan yang tepat dari perspektif fungsional, sementara orang
lain berpendapat bahwa perspektif konflik dan perspektif fungsional tidaklah
serupa dan bahwa Perspektif konflik hanyalah suatu jiplakan dari Perspektif
fungsional.
Penganjur utama dari gagasan bahwa perspektif konflik adalah lawan yang tepat dari perspektif fungsional adalah Ralf Dahrendorf. Dahrendorf, yang menganggap dirinya sebagai ahli teori konflik, mensejajarkan perspektif konflik dengan perspektif fungsional untuk menunjukkan bagaimana sangat berbedanya ke dua perspektif tersebut. Sungguhpun Dahrendorf melihat perbedaan utama antara perspektif konflik dan perspektif fungsional, namun ia mengakui bahwa Masyarakat tidak bisa ada tanpa kedua-duanya, konsensus dan konflik, yang mana adalah prasyarat dari tiap lainnya. Begitu, kita tidak bisa mempunyai konflik kecuali jika ada beberapa konsensus lebih dulu. Salah satu ahli teori yang mencoba untuk menunjukkan bagaimana fungsionalisme struktural dan teori konflik bisa dikombinasikan adalah Lewis Coser. Coser berpendapat bahwa di bawah kondisi-kondisi tertentu konflik dapat bersifat fungsional bagi suatu masyarakat. Artinya, konflik itu ada gunanya bagi perkembangan masyarakat. Kegiatan Belajar 2 :
Teori Konflik Kebudayaan
Teori
konflik kebudayaan memandang bahwa masyarakat membawa potensi konflik melalui
penerapan budayanya, terlebih jika satu masyarakat dengan budayanya bertemu
atau bersinggungan dengan masyarakat yang lain dengan budaya yang lain dalam
situasi saling berlomba dan mendominasi.
Terkait dengan budaya yang terinternalisasi dalam suatu masyarakat atau kelompok tertentu maka muatan kepentingan yang khas dari masyarakat atau kelompok juga mewarnai konflik yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Konflik kepentingan tersebut oleh beberapa pakar aliran konflik ini kemudian dipercaya akan terkait dan terwujud dalam berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan. Hukum, dengan demikian, juga merupakan salah satu aspek kehidupan bermasyarakat yang terkait dan bahkan dapat dijadikan sarana oleh kelompok tertentu untuk merealisasikan kepentingan “ingroup”nya. Kegiatan Belajar 3 :
Konflik Kelas Sosial dan
Kejahatan
Quinney
dalam teorinya tentang realitas kejahatan mengatakan bahwa realitas kejahatan
yang dikonstruksi untuk seluruh anggota masyarakat oleh mereka dalam tampuk
kekuasaan merupakan realitas di mana kita cenderung menerimanya sebagai
bagian dari kita sendiri. Dengan melakukan hal itu, kita mengakui eksistensi
mereka yang dalam tempuk otoritas untuk melaksanakan tindakan yang sebagian
besar mempromosikan kepentingan mereka. Ini adalah realitas politik (politics
of reality). Realitas sosial dari kejahatan dalam sebuah masyarakat yang
terorganisasi secara politik terkonstruksi sebagai sebuah tindakan politik.
Chambliss dan Seidman (1971) mulai dengan pernyataan bahwa ketika masyarakat menjadi semakin kompleks, maka kepentingan individu dalam masyarakat mulai berbeda, dan mereka lebih mungkin berada dalam konflik satu dengan lainnya dan harus dibantu untuk memecahkan perselisihan ini. Menurut kedua pakar ini perbedaan seperti ini timbul karena nilai sebagian besar orang dipengaruhi oleh kondisi kehidupan mereka yang semakin berbeda karena masyarakat semakin kompleks. Pada umumnya, akibat dari perselisihan tersebut dapat terselesaikan melalui rekonsilasi atau kompromi. Kedua pakar ini kemudian mengemukakan bahwa menarik sekali untuk mencari apakah yang terbaik bagi penjelasan tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam pembuatan dan penegakkan hukum, apakah itu consensus model ataukah conflict model. Teori lain yang juga memusatkan perhatian pada hubungan antara kejahatan dengan konflik kelas adalah teori yang dikemukan oleh David M. Gordon tentang Class and Economic of Crimen yang diterbitkan pada tahun 1971. Gordon mengatakan bahwa kejahatan, pada hakikatnya, merupakan respon-respon rasional terhadap bekerjanya sistem ekonomi dominan dari suatu negara yang ditandai oleh persaingan serta berbagai bentuk ketidakmerataan. Pelaku kejahatan adalah orang-orang yang bertindak secara rasional untuk bereaksi terhadap kondisi-kondisi kehidupan golongan sosialnya di dalam masyarakat. Kemudian juga Taylor, Walton dan Young mempromosikan suatu pendekatan baru dalam upaya mereka melakukan penelitian dan pemahaman ilmiah terhadap masalah kejahatan. Untuk lebih memahami secara jelas tentang apa yang disebut sebagai kejahatan, maka atas hal itu mereka kemudian memfokuskan pada berbagai upaya dalam mengungkapkan kejahatan. |
Kamis, 15 Desember 2011
tindakan kriminal
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar